Senin, 04 Juli 2016

Berhentilah dari Berhenti (Bagian 1)


Merah dan Putih Mengawali Langah – Langkah Kecil

“Membawa laptop rasanya lebih tepat“ Angga seolah bicara pada dirinya sendiri. Dari lantai dua ruang kerjanya Ia menatap beberapa anak berusia sekolah dasar bermain bola plastik di hamparan tanah kosong tidak jauh dari gedung tiga lantai tempat dimana Ia menjalankan bisnis. Anak-anak itu terlihat bersemangat. Salah seorang bahkan terlihat gigih menggiring bola hingga mendekati gawang lawan ingin membuat gol. Namun sayang, tendangan kaki kanannya meleset sepuluh centimeter dari gawang.

"Yaah..." keluh bocah itu sambil mengatur nafas yang tersengal. Teman satu timnya, ikut kecewa tanpa bersuara.

Lelaki muda itu menuruni tangga hendak menuju danau melepas penat sambil menenteng laptop. Security yang sudah tidak heran melihat Angga tetap masuk kerja disaat hari libur seperti hari itu, tersenyum ramah saat berpapasan. Tak membutuhkan waktu lama untuk sampai di gerbang danau. Lima menit dengan berjalan kaki. Ia terus berjalan  melewati toko florist dan bakery di sebelah kanan lalu menyebrangi jalan. Beberapa penjual makanan siap saji menjamur di trotoar, ada kebab, burger, sosis bakar, dan masih banyak pilihan lain.

Ia memilih  paket martabak mini dan cup wedang jahe, Indonesia sekali pikirnya. Semilir angin dari kerindangan  pepohonan yang berjajar di tepi jalan ramah menyapa. Sentuhan tangan terampil menata barisan bunga anggrek hingga menjadi sebuah taman indah  yang berpadu dengan danau lili putih memberikan pesona alami yang artistik. Angga  berbekal paket martabak mini coklat keju, memutuskan untuk duduk di bawah pohon rindang mengarah ke danau. Udara hari itu benar-benar sejuk, semilir angin mengalun lembut. Langit cerah. Gumpalan awan putih berjajar rapi seolah menandakan hingga sore hari tidak akan turun hujan.

Layar laptop berlatar biru sudah terpampang dengan ratusan dokumen di dalamnya, Angga memainkan jemarinya  memeriksa email masuk. Matanya mengarah fokus pada layar laptop dan membacanya penuh semangat, saat dilihatnya  proposal rencana usaha yang dikirim oleh seseorang.

Coke sebutan untuk martabak mini coklat keju, dengan lahap Angga memakannya hingga suapan terakhir. Butiran coklat di ujung-ujung jarinya di bersihkan dengan tissue yang telah disediakan oleh penjualnya tadi.

Saat membersihkan lelehan coklat di telunjuk kiri, tampak goresan halus panjang akibat sayatan cutter beberapa tahun yang lalu. Goresan luka yang tak akan pernah dilupakan. Angga teringat sesuatu, kemanakah dirinya mengembara, benarkah batinnya berada di sebuah taman di tepi danau? Atau sedang berkelana menembus batas ruang dan waktu. Mengingat masa-masa itu. Goresan luka itu. Angga menghela nafas. Menahan untuk tidak mengingatnya sekarang.

Cuaca hari itu begitu bersahabat. Anak-anak itu masih bermain berlarian mengejar bola. Kini Angga bisa melihat mereka lebih dekat, sepuluh meter di sebelah kanan danau. Entah sudah berapa gol yang mereka buat. Angga senyum-senyum sendiri melihat anak-anak usia sekolah dasar itu, mengingatkan dirinya ketika Ia kecil dulu.

Angannya melayang, dibawa terbang mengingat sebuah kenangan. Ingatan masa lalu, masa-masa menunggu hari pertama masuk sekolah. Sekolah Dasar.

Angga menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Berusaha mengingat kembali kenangan masa kecilnya meskipun terdengar teriakan ibu-ibu memanggil anaknya yang bermain jauh di luar jangkauan mereka, berlari kesana-kemari di sekitar danau.
***

Beberapa bocah berlarian tak beraturan mengejar bola plastik yang sudah tak jelas lagi warnanya, menandakan benda itu sudah sangat lama menjadi teman bermain anak-anak sudut desa.

“Woii udah sore nih... ayo kita pulang“ Angga mengingatkan teman-temannya.

“Ah kamu Ngga berisik, ayolah bentar lagi, aku kan baru ikutan” bujuk salah seorang bocah yang telat datang ke lapangan dan baru menendang bola tidak lebih dari lima kali. Angga tak bersuara lagi, tersenyum lantas bergegas membalikan badan. Meninggalkan teman-temannya, dengan langkah lebar. Pulang duluan.

Satu persatu Ibu-Ibu berdatangan berseru memanggil anaknya untuk segera pulang. Terlihat wajah-wajah bocah tidak puas, karena harus mengehentikan keseruan sore itu. Seruan Ibu-Ibu itu terdengar hebat, sehingga tak butuh waktu lama semuanya membubarkan diri. Lapangan itu menjadi kosong, menyisakan bola plastik yang tertinggal di sudut gawang tanpa ada yang berniat membawanya.

Sore menyambangi hari, malam datang temaram, tanpa siraman sinar rembulam. Kunang-kunang mulai beterbangan menghias malam. Suara adzan maghrib berkumandang, membuat mereka yang masih berada di sawah dan ladang segera beringsut bergegas pulang. Ibu-Ibu sibuk mencari ayam peliharaan yang belum juga masuk ke kandang. Hari mulai gelap, sore berganti malam sepenuhnya.

Terlihat seorang perempuan tua duduk termenung dengan tatapan yang tak pernah lepas dari seorang bocah berusia sekolah dasar. Bocah lugu yang terlihat keras hati itu masih tersenyum karena buaian perasaan senangnya, batinnya berceloteh, bersenandung, jelas terlihat rona wajah sumringah. Sudah lima tahun Ia hidup bersama cucunya selepas perceraian itu.

Ya, perceraian yang merenggut kebahagiaan anak-anak seusianya. Angga yang belum genap dua tahun harus menerima kenyataan Ibunya tidak mau membawanya karena pindah ke kota lain dan menikah dengan orang lain sebulan setelah perceraian diresmikan di pengadilan agama. Angga tidak tahu penyebab perceraian itu, itu urusan orang dewasa. Belum genap dua tahun usianya kala itu. Angga kecil bahkan tidak ingat apa yang ibunya pesankan terakhir kali kepadanya.

Sementara ayahnya pergi merantau ke ibukota demi mencari penghidupan yang lebih baik. Diantara ayah dan ibunya, Angga kecil lebih sering bertemu dengan ayahnya yang setahun dua kali menyempatkan pulang menemui anak satunya-satunya itu, sebelum akhirnya memutuskan menikah lagi. Nenek berbaik hati, merawat Angga seorang diri, suaminya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Meskipun usianya telah senja, Nenek terlihat begitu bertenaga, sama kuatnya dengan Ibu-Ibu paruh baya. Urusan menimba air, mencuci, memasak, memelihara ayam, memanen pisang di kebun, semua dilakukan seorang diri. Belum lagi kebiasaannya mendongeng setiap malam.

Bocah yang ditatapnya tidak sempat berbagi pandang ke arah lain, matanya tertuju pada tas dan seragam merah putih yang akan dibawanya besok ke sekolah.

Malam merangkak kian pasti, melesat meninggalkan waktu yang tak bisa berkompromi, detik berlalu menit berganti, si bocah telah tertidur lelap. Dalam tidurnya si bocah mengigau hinggga membangunkan nenek yang baru saja beberapa saat berhasil memejamkan mata.

“Kenapa kamu le..le,  tidur kok teriak-teriak” si nenek berusaha membangunkan Angga, si bocah terus saja merancau tak jelas.

“Angga, bangun le.. oalah kamu pasti ya nda berdoa sebelum tidur tadi” dengan telaten si nenek merapikan selimut yang acak-acakan kesana-kemari. Angga tak lagi gaduh, keadaan kembali sunyi, suara binatang malam di sawah kembali menina bobokan nenek dan cucu itu hingga kembali lelap dalam buaian pekatnya malam.
Kumandang adzan subuh belum  terdengar, Angga sudah terjaga dan dengan semangat membangunkan neneknya.

“Mbok bangun, Mbok sudah siang, kan Mbok mau antar aku ke sekolah“

Sang nenek sedikit menggeliat lalu melirik ke arah cucunya, dengan suara parau nenek bicara datar.

“Masih malam begini kok, dibilang siang.., sudah tidur lagi” Nenek berusia enam puluh lima tahun itu kembali memejamkan matanya.

Besok adalah hari pertama Angga masuk SD. Seragam merah dan putih telah tergantung rapi di kapstok dinding kamar. Dibeli tiga hari lalu di pasar tradisional. Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai kesana menggunakan becak. Mengingat kondisi perekonomian yang cukup sulit, nenek hanya mampu mendaftarkan Angga ke sebuah sekolah yang mau dibayar murah bahkan gratis biaya pendaftaran. Hanya sedikit orang tua yang mau menyekolahkan anaknya disana. Alasan paling simpel adalah kondisi fisik bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai.

Sekolah memiliki tiga gedung terpisah dengan satu gedung di tengah berukuran lebih kecil dari dua gedung lainnya, gedung bagian tengah ini telah dipensiunkan tiga tahun lalu. Atapnya penuh dengan lubang, dindingnya belum disemen, dan tanpa pintu. Sepertinya gedung di tengah ini tidak dilanjutkan pembangunannya karena asupan dana dari pemerintah belum juga turun. Belum turun atau tertahan di birokrasi. Entahlah,  yang jelas gedung ini belum selesai dibangun. Kepala sekolah memaksa untuk menggunakannya dengan kondisi apa adanya. Dan hanya bertahan sebulan, ruangan dengan luas tiga puluhnmeter persegi ini sudah tidak dipakai lagi.

SD Keturen 2, tidak memiliki kelas selengkap sekolah lain pada umumnya. Kalau regenerasi berjalan baik, seharusnya kelas satu, dua, tiga, empat, lima, dan enam,  lengkap terisi. Total enam kelas. Tapi sayang, pernah dalam tiga periode tahun ajaran tidak ada satupun orang tua yang mau menyekolahkan anaknya disana. Pernah ada satu siswa yang mendaftar, namun terpaksa harus dipindahkan ke sekolah lain dengan alasan beban operasional.  Sekarang sekolah itu memiliki tiga kelas tersisa, kelas empat, tiga, dan kelas satu yang diisi oleh sembilan siswa baru termasuk Angga di dalamnya.

Cahaya matahari pagi menyeruak di sela-sela dedaunan, sebagian jatuh tepat di wajah Angga. Hangatnya mentari pagi membuat mata bocah yang akan memasuki Sekolah Dasar pertama kalinya itu terpicing menahan silau. Jam sudah menunjukkan pukul 07:00, upacara rutin dilakukan di sekolah itu. Untuk beberapa saat lamanya Angga membisu. Juga siswa baru lainnya ketika memasuki ruang kelas untuk pertama kali. Mereka tidak perlu berebut kursi. Kelas berkapasitas tiga puluh siswa itu terlihat luas karena diisi hanya sembilan siswa.

Terlihat suasana  yang  cukup memprihatinkan. Bangunan sekolah yang lapuk dan rentan keruntuhan hanya tinggal menunggu ambruknya saja. Apapun itu, semuanya kelihatan senang. Bersyukur mereka bisa bersekolah. Dengan langkah mantap mereka meninggalkan kelas menuju ke lapangan meninggalkan tas baru mereka di kursi masing-masing.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar