Merah
dan Putih Mengawali Langah – Langkah Kecil
“Membawa
laptop rasanya lebih tepat“ Angga seolah bicara pada dirinya sendiri. Dari
lantai dua ruang kerjanya Ia menatap beberapa anak berusia sekolah dasar
bermain bola plastik di hamparan tanah kosong tidak jauh dari gedung tiga
lantai tempat dimana Ia menjalankan bisnis. Anak-anak itu terlihat bersemangat.
Salah seorang bahkan terlihat gigih menggiring bola hingga mendekati gawang
lawan ingin membuat gol. Namun sayang, tendangan kaki kanannya meleset sepuluh centimeter
dari gawang.
"Yaah..."
keluh bocah itu sambil mengatur nafas yang tersengal. Teman satu timnya, ikut
kecewa tanpa bersuara.
Lelaki
muda itu menuruni tangga hendak menuju danau melepas penat sambil menenteng
laptop. Security yang sudah tidak heran melihat Angga tetap masuk kerja disaat
hari libur seperti hari itu, tersenyum ramah saat berpapasan. Tak membutuhkan
waktu lama untuk sampai di gerbang danau. Lima menit dengan berjalan kaki. Ia
terus berjalan melewati toko florist dan bakery di sebelah kanan lalu
menyebrangi jalan. Beberapa penjual makanan siap saji menjamur di trotoar, ada
kebab, burger, sosis bakar, dan masih banyak pilihan lain.
Ia
memilih paket martabak mini dan cup wedang jahe, Indonesia sekali
pikirnya. Semilir angin dari kerindangan pepohonan yang berjajar di tepi
jalan ramah menyapa. Sentuhan tangan terampil menata barisan bunga anggrek
hingga menjadi sebuah taman indah yang berpadu dengan danau lili putih
memberikan pesona alami yang artistik. Angga berbekal paket martabak mini
coklat keju, memutuskan untuk duduk di bawah pohon rindang mengarah ke danau.
Udara hari itu benar-benar sejuk, semilir angin mengalun lembut. Langit cerah.
Gumpalan awan putih berjajar rapi seolah menandakan hingga sore hari tidak akan
turun hujan.
Layar
laptop berlatar biru sudah terpampang dengan ratusan dokumen di dalamnya, Angga
memainkan jemarinya memeriksa email masuk. Matanya mengarah fokus pada
layar laptop dan membacanya penuh semangat, saat dilihatnya proposal
rencana usaha yang dikirim oleh seseorang.
Coke
sebutan untuk martabak mini coklat keju, dengan lahap Angga memakannya hingga
suapan terakhir. Butiran coklat di ujung-ujung jarinya di bersihkan dengan
tissue yang telah disediakan oleh penjualnya tadi.
Saat
membersihkan lelehan coklat di telunjuk kiri, tampak goresan halus panjang
akibat sayatan cutter beberapa tahun yang lalu. Goresan luka yang tak akan
pernah dilupakan. Angga teringat sesuatu, kemanakah dirinya mengembara,
benarkah batinnya berada di sebuah taman di tepi danau? Atau sedang berkelana
menembus batas ruang dan waktu. Mengingat masa-masa itu. Goresan luka itu.
Angga menghela nafas. Menahan untuk tidak mengingatnya sekarang.
Cuaca
hari itu begitu bersahabat. Anak-anak itu masih bermain berlarian mengejar
bola. Kini Angga bisa melihat mereka lebih dekat, sepuluh meter di sebelah
kanan danau. Entah sudah berapa gol yang mereka buat. Angga senyum-senyum
sendiri melihat anak-anak usia sekolah dasar itu, mengingatkan dirinya ketika
Ia kecil dulu.
Angannya
melayang, dibawa terbang mengingat sebuah kenangan. Ingatan masa lalu,
masa-masa menunggu hari pertama masuk sekolah. Sekolah Dasar.
Angga
menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Berusaha mengingat kembali
kenangan masa kecilnya meskipun terdengar teriakan ibu-ibu memanggil anaknya
yang bermain jauh di luar jangkauan mereka, berlari kesana-kemari di sekitar
danau.
***
Beberapa
bocah berlarian tak beraturan mengejar bola plastik yang sudah tak jelas lagi
warnanya, menandakan benda itu sudah sangat lama menjadi teman bermain
anak-anak sudut desa.
“Woii
udah sore nih... ayo kita pulang“ Angga mengingatkan teman-temannya.
“Ah
kamu Ngga berisik, ayolah bentar lagi, aku kan baru ikutan” bujuk salah seorang
bocah yang telat datang ke lapangan dan baru menendang bola tidak lebih dari
lima kali. Angga tak bersuara lagi, tersenyum lantas bergegas membalikan badan.
Meninggalkan teman-temannya, dengan langkah lebar. Pulang duluan.
Satu
persatu Ibu-Ibu berdatangan berseru memanggil anaknya untuk segera pulang.
Terlihat wajah-wajah bocah tidak puas, karena harus mengehentikan keseruan sore
itu. Seruan Ibu-Ibu itu terdengar hebat, sehingga tak butuh waktu lama semuanya
membubarkan diri. Lapangan itu menjadi kosong, menyisakan bola plastik yang
tertinggal di sudut gawang tanpa ada yang berniat membawanya.
Sore
menyambangi hari, malam datang temaram, tanpa siraman sinar rembulam.
Kunang-kunang mulai beterbangan menghias malam. Suara adzan maghrib
berkumandang, membuat mereka yang masih berada di sawah dan ladang segera
beringsut bergegas pulang. Ibu-Ibu sibuk mencari ayam peliharaan yang belum
juga masuk ke kandang. Hari mulai gelap, sore berganti malam sepenuhnya.
Terlihat
seorang perempuan tua duduk termenung dengan tatapan yang tak pernah lepas dari
seorang bocah berusia sekolah dasar. Bocah lugu yang terlihat keras hati itu
masih tersenyum karena buaian perasaan senangnya, batinnya berceloteh,
bersenandung, jelas terlihat rona wajah sumringah. Sudah lima tahun Ia hidup
bersama cucunya selepas perceraian itu.
Ya,
perceraian yang merenggut kebahagiaan anak-anak seusianya. Angga yang belum
genap dua tahun harus menerima kenyataan Ibunya tidak mau membawanya karena
pindah ke kota lain dan menikah dengan orang lain sebulan setelah perceraian
diresmikan di pengadilan agama. Angga tidak tahu penyebab perceraian itu, itu
urusan orang dewasa. Belum genap dua tahun usianya kala itu. Angga kecil bahkan
tidak ingat apa yang ibunya pesankan terakhir kali kepadanya.
Sementara
ayahnya pergi merantau ke ibukota demi mencari penghidupan yang lebih baik.
Diantara ayah dan ibunya, Angga kecil lebih sering bertemu dengan ayahnya yang
setahun dua kali menyempatkan pulang menemui anak satunya-satunya itu, sebelum
akhirnya memutuskan menikah lagi. Nenek berbaik hati, merawat Angga seorang
diri, suaminya telah meninggal sepuluh tahun yang lalu. Meskipun usianya telah
senja, Nenek terlihat begitu bertenaga, sama kuatnya dengan Ibu-Ibu paruh baya.
Urusan menimba air, mencuci, memasak, memelihara ayam, memanen pisang di kebun,
semua dilakukan seorang diri. Belum lagi kebiasaannya mendongeng setiap malam.
Bocah
yang ditatapnya tidak sempat berbagi pandang ke arah lain, matanya tertuju pada
tas dan seragam merah putih yang akan dibawanya besok ke sekolah.
Malam
merangkak kian pasti, melesat meninggalkan waktu yang tak bisa berkompromi,
detik berlalu menit berganti, si bocah telah tertidur lelap. Dalam tidurnya si
bocah mengigau hinggga membangunkan nenek yang baru saja beberapa saat berhasil
memejamkan mata.
“Kenapa
kamu le..le, tidur kok teriak-teriak” si nenek berusaha membangunkan
Angga, si bocah terus saja merancau tak jelas.
“Angga,
bangun le.. oalah kamu pasti ya nda berdoa sebelum tidur tadi” dengan telaten
si nenek merapikan selimut yang acak-acakan kesana-kemari. Angga tak lagi
gaduh, keadaan kembali sunyi, suara binatang malam di sawah kembali menina
bobokan nenek dan cucu itu hingga kembali lelap dalam buaian pekatnya malam.
Kumandang
adzan subuh belum terdengar, Angga sudah terjaga dan dengan semangat
membangunkan neneknya.
“Mbok
bangun, Mbok sudah siang, kan Mbok mau antar aku ke sekolah“
Sang
nenek sedikit menggeliat lalu melirik ke arah cucunya, dengan suara parau nenek
bicara datar.
“Masih
malam begini kok, dibilang siang.., sudah tidur lagi” Nenek berusia enam puluh
lima tahun itu kembali memejamkan matanya.
Besok
adalah hari pertama Angga masuk SD. Seragam merah dan putih telah tergantung
rapi di kapstok dinding kamar. Dibeli tiga hari lalu di pasar tradisional.
Butuh waktu tiga puluh menit untuk sampai kesana menggunakan becak. Mengingat kondisi
perekonomian yang cukup sulit, nenek hanya mampu mendaftarkan Angga ke sebuah
sekolah yang mau dibayar murah bahkan gratis biaya pendaftaran. Hanya sedikit
orang tua yang mau menyekolahkan anaknya disana. Alasan paling simpel adalah
kondisi fisik bangunan sekolah yang sudah tidak layak pakai.
Sekolah
memiliki tiga gedung terpisah dengan satu gedung di tengah berukuran lebih
kecil dari dua gedung lainnya, gedung bagian tengah ini telah dipensiunkan tiga
tahun lalu. Atapnya penuh dengan lubang, dindingnya belum disemen, dan tanpa
pintu. Sepertinya gedung di tengah ini tidak dilanjutkan pembangunannya karena
asupan dana dari pemerintah belum juga turun. Belum turun atau tertahan di
birokrasi. Entahlah, yang jelas gedung ini belum selesai dibangun. Kepala
sekolah memaksa untuk menggunakannya dengan kondisi apa adanya. Dan hanya
bertahan sebulan, ruangan dengan luas tiga puluhnmeter persegi ini sudah tidak
dipakai lagi.
SD
Keturen 2, tidak memiliki kelas selengkap sekolah lain pada umumnya. Kalau
regenerasi berjalan baik, seharusnya kelas satu, dua, tiga, empat, lima, dan
enam, lengkap terisi. Total enam kelas. Tapi sayang, pernah dalam tiga
periode tahun ajaran tidak ada satupun orang tua yang mau menyekolahkan anaknya
disana. Pernah ada satu siswa yang mendaftar, namun terpaksa harus dipindahkan
ke sekolah lain dengan alasan beban operasional. Sekarang sekolah itu
memiliki tiga kelas tersisa, kelas empat, tiga, dan kelas satu yang diisi oleh
sembilan siswa baru termasuk Angga di dalamnya.
Cahaya
matahari pagi menyeruak di sela-sela dedaunan, sebagian jatuh tepat di wajah
Angga. Hangatnya mentari pagi membuat mata bocah yang akan memasuki Sekolah
Dasar pertama kalinya itu terpicing menahan silau. Jam sudah menunjukkan pukul
07:00, upacara rutin dilakukan di sekolah itu. Untuk beberapa saat lamanya
Angga membisu. Juga siswa baru lainnya ketika memasuki ruang kelas untuk
pertama kali. Mereka tidak perlu berebut kursi. Kelas berkapasitas tiga puluh
siswa itu terlihat luas karena diisi hanya sembilan siswa.
Terlihat
suasana yang cukup memprihatinkan. Bangunan sekolah yang lapuk dan
rentan keruntuhan hanya tinggal menunggu ambruknya saja. Apapun itu, semuanya
kelihatan senang. Bersyukur mereka bisa bersekolah. Dengan langkah mantap
mereka meninggalkan kelas menuju ke lapangan meninggalkan tas baru mereka di
kursi masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar